LUPA
Oleh: Tha Artha
Dede cemberut. Ia kembali menengok jam tangannya. Hampir pukul 12.00 WIB, artinya setengah hari terlewati. Namun yang dinantikannya tak muncul juga.
"Hei," ujar cowok berseragam putih biru itu seraya menyenggol lengan Firman yang asyik menulis. "Sekarang tanggal berapa?"
Firman berhenti mencatat. "23," jawabnya singkat.
"Adakah yang istimewa?"
"Ya," Dede senang mendengar jawaban itu. Dikiranya Firman akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Ternyata, "Nanti malam MU lawan Juve. Dan tadi pagi Boncel beranak dua. Duaaaa." Firman mengacungkan jari tengan dan telunjuknya, bergaya Ayu Tingting di iklan mie instan.
Dede terdiam. Ia menatap Pak Muhammad, guru matematika SMP Nusa yang asyik menulis di papan. Tapi otak Dede tak memikirkan pelajaran siang ini. Ia memikirkan usianya yang keempat belas, miris, tak ada ucapan ataupun hadiah.
Sebenarnya hal ini bukan masalah besar. Namun bila tiada yang ingat hari pentingnya, kemungkinan dirinya pun tak dianggap penting oleh orang di sekitarnya. Bukankah hal demikian menyedihkan?
Begitu bel pulang berdering, buru-buru Dede membereskan peralatan sekolah miliknya. Ia ingin cepat sampai rumah dan mendapat ciuman hangat serta ucapan selamat dari Mama Papa.
Namun angan tinggallah angan. Tak ada sambutan dirinya di muka pintu rumah, pun ruangan tengah sepi. Pita warna-warni dan tart berlilin usianya tak dijumpainya.
Dede tak putus asa. Ia lalu ke kebun belakang karena dia pikir ada kejutan di sana. Ya, memang ada hal yang mengejutkan dirinya sebab puluhan tumbuhan mawar berjajar indah. Mama Papa sibuk menanam tumbuhan favorit Mama.
Dede lantas melangkah ke kamarnya.
"Pasti ada kado besar di sana," pikir Dede.
Tapi, nihil. Kondisi kamarnya masih sama dengan saat ditinggalkan, berantakan. Tidak ada kejutan. Tidak ada hadiah. Tidak ada ucapan. Tidak ada hari istimewa.
"Mungkin nanti malam," Dede masih optimis bila perayaan hari jadinya diundur hingga senja menghilang.
**
Jarum jam menunjuk angka sembilan, waktunya Dede untuk tidur. Tapi dia tak mau memejamkan mata. Ia tak mau melewatkan moment surprise di hari jadinya. Ia masih yakin akan ada kejutan besar dengan sikap kedua orang tua dan teman-temannya yang kura-kura dalam perahu.
"Sekarang masih tanggal 23. Hingga jam 11 malam pun masih hari ulang tahunku," katanya seraya mencoba tersenyum menghibur diri sendiri.
Dede masih membuka mata hingga pukul 23.59. Namun dia gusar, semenit lagi tanggal berganti, bukan ulang tahunnya lagi. Artinya di usia ke-14 dia menjadi orang tak terabaikan karena tak satupun mengingat harinya.
Hatinya semakin cemas saat jarum secon bergerak menuju angka sebelas, hampir tepat pukul 00.00 tanggal 24 Mei.
Tak lama, terdengar suara gaduh. Pintu kamarnya dibuka dan...
"Surprise! Happy birthday!"
Teriakan itu kontan mengagetkan Dede. Ia menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Mama membawa tart berlilin 14 didampingi Papa dan Firman. Ia ingin tersenyum, tapi diurungkan. Saat ini tanggal 24, bukan hari ulang tahunnya.
"Kok gak seneng?" Firman mendekatinya.
"Sekarang sudah bukan hari ulang tahunku. Kalian terlambat, tanggal lahirku kan kemarin."
"Hah?" ucap Mama, Papa dan Firman bersamaan.
Mereka saling bertatapan, lalu meledaklah tawa ketiganya.
"Kamu baru bangun tidur ya sayang? Maklum kalau kamu masih ling-lung," Papa mengusap kepalanya.
"Ulang tahunku kemarin, Pa."
"Sekarang, sayang. Lahirmu di tanggal 24 Mei," Mama mencium pipinya, kemudian menyodorkan tart di hadapan putra tunggalnya. "Happy birthday! Ayo tiup!"
Dede terdiam. Ia perintahkan otaknya membongkar ingatan tentang tanggal lahirnya. Ditemukan. Memang benar dia lahir tanggal 24, bukan 23. Kontan dia terbahak sendiri hingga kedua orang tua dan sahabatnya menatapnya heran.
"Aku tiup ya, Ma?"
Dalam sekejap, Dede merasa menjadi orang penting sedunia. Tengah malam tiga orang terdekatnya rela begadang hanya demi merayakan hari bertambahnya usia Dede. Ia terharu, lalu meminta maaf karena telah berprasangka buruk. Ternyata dia yang melupakan tanggal lahirnya sendiri. Dasar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar