Jumat, 22 Juni 2012

Batik Nenek



 Oleh: Muhammad Dede Firman

“Masih membuat batik, Nek?” tanyaku.
“Ya. Tentu saja,” nenek menjawab pasti.
Kulihat tangan keriputnya masih menggeraki canting dengan perlahan untuk mengukir sebuah motif Cirebon yang bergambar awan. Seperti biasanya.
“Untuk apa terus seperti itu? Selama ini nenek terus membatik, tapi hasilnya selalu dijadikan koleksi. Bukankah itu hanya menghabiskan sisa hidup nenek?”
“Kalau sudah cinta dengan budaya Indonesia yang satu ini, harus bagaimana lagi? Membatik adalah kegiatan turun-temurun dari keluarga nenek. Sayangnya, nenek belum sempat menurunkannya pada ibumu yang kini telah tiada,” nenek termenung. Setelah itu, beliau menatapku.
“Lalu, nenek piker Linda mau menjadi salahsatu turunan itu?” tanyaku. Kemudian nenek menganggukkan kepalanya. “Tidak, Nek! Linda tidak tertarik dengan batik!”
Kutinggalkan nenek di ruang keluarga dengan peralatan batiknya. Sungguh, aku tidak tertarik sedikitpun dengan batik. Itu budaya kuno! Sekarang kan jamannya modern.
***
            Pukul 05.00 pagi.
            Mataku kembali terbuka. Pikiranku baru mengingat sebuah kegiatan langka di sekolahku yang akan dilakoni hari ini. Pameran budaya Indonesia. Itu adalah saat-saat di mana akan dipamerkannya budaya-budaya Indonesia, yang diperoleh dari setiap siswa.
            Oh, my God! Kenapa aku bisa lupa? Tanyaku dalam hati. Dengan pikiran resah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada budaya Indonesia yang bisa kupamerkan di sekolah. Terkecuali… jika aku mengambil batik nenek.
***
            Sekolah nampak ramai saat aku datang. Tentu saja, akan banyak pengunjung dari sekolah-sekolah lain hari ini. Aku piker mereka akan kagum dengan apa yang aku bawa, beberapa kain mori dengan batik yang tertempel di dalamnya.
            Dan ternyata benar! Para pengunjung sangat tertarik dengan apa yang kubawa. Mereka kagum akan ukiran bentuknya yang sangat rapi dan hampir tanpa cacat sedikitpun.
            “Apa ini buatan kamu sendiri?” tanya Pak Rahman. Guru seni budaya di kelasku.
            “Ya. Tentu saja,” dustaku. Aku ingin namaku tertampang harum di matanya.
            Sekilas kulihat Pak Rahman mengutaskan senyum manisnya. Ah, berapa nilai seni budaya-ku nanti? Aku kira bisa saja melompat hingga angka sembilan.
            “Linda!” teriak seorang laki-laki yang aku kenal. Ayah!
            Segera kuhampiri beliau. Seiring dengan langkah kaki yang semakin kupercepat, hatiku semakin berbunga-bunga. Mungkin ayah akan senang padaku.
            “Ada apa, Yah?
            “Nda, nenekmu masuk rumah sakit!”
            “Apa?”
            Seketika kesenanganku sirna. Pelangi di hatiku berubah menjadi mendung.
            “Ya. Tadi nenekmu telah kehilangan semua batiknya. Tapi, seketika saja nenek berpikir bahwa tetangga sebelah yang mengambilnya secara diam-diam saat nenek tertidur,” ayah menghela napas. Membuatku semakin penasaran saja.
            “Lalu?”
            “Lalu nenek hendak menghampiri rumah tetangga sebelah. Tapi, tanpa dia ketahui, sebuah motor dengan cepat dan akhirnya…”
            “Nenek tertabrak dan masuk rumah sakit?” tebakku. Ayah mengangguk. Aku mulai merasa bersalah. Sangat bersalah.
            Andai saja aku bisa mencintai batik sejak dulu, mungkin aku akan bisa membuatnya sendiri untuk pameran hari ini, tanpa harus mengambil batik nenek. Mungkin jika itu bisa kulakukan, nenek tidak akan pernah masuk rumah sakit. *

1 komentar:

  1. ▷ 7 Casino Site that provides Best Odds and Free Spins in
    Check out 7 Casino Site that provides Best Odds and Free Spins in 2021 for an honest review of 7 Casino Site that is safe & luckyclub.live secure.

    BalasHapus